Logo Topsumbar tv

logo-web-tv

terkini

Kisah Inspiratif, Vinna Melwanti, Jurnalis Wanita ‘Urang Awak’, Berjuang Melawan Covid-19

1/01/21, 21:41 WIB Last Updated 2021-01-01T14:41:24Z

 



Pengantar redaksi :

So pasti tidak seorangpun ingin terpapar Covid-19. Semua pastinya berusaha aman dan terbebas dari virus berbahaya itu.

Lantas bagaimana dengan orang yang pernah terpapar positif Covid-19 dan kemudian dinyatakan sembuh ?

Pastilah masing-masingnya memiliki pengalaman dan kisah berkesan yang bisa saja menginspirasi.

Nah, pada Minggu, (11/10/2020) siang ini, Topsumbar.co.id menayangkan sebuah kisah inspiratif dari salah seorang jurnalis wanita asal Payakumbuh yang sembuh setelah berjuang melawan Covid-19 di Jakarta.


Kisah ini dikutip Topsumbar.co.id dari laman sumbarprov.go.id yang juga tayang hari ini.

Selamat membaca dan terima kasih.

Ini kisah saya yang positif Covid-19 oleh : Vinna Melwanti

Saya teramat dingin. Pucat pasi. Tak berdarah lagi muka ini. Jalan sudah goyang. Dada amatlah sesaknya. Napas satu-satu, berat sekali. Saya sangat disiplin, ternyata kena juga. Saya positif corona di tengah kampanye gelombang kedua yang besar. Ya Tuhan.

Ini kali pertama saya naik dan rebah dalam ambulance, menggigil. Ini pertama kali, paru-paru saya bagai diremas. Makin lama kian kuat. Ini pertama kali saya demam, yang membuat seluruh tubuh mandi keringat. Dua kali per jam ganti baju.

Ketika naik ambulance, saya seperti dilarikan ke dunia lain, sirinenya meraung panjang, membelah kota Jakarta yang sepi menjelang dini hari. Saya yang lahir di Jakarta, tak pernah setakut ini di kota yang sama.

Malam telah memanjat jauh ke depan. Sebentar lagi dinihari. Paru-paru ini, serasa pecah semenjak pagi tadi terbujur di IGD Rumah Sakit MMC Jakarta Selatan. Ya, rumah sakit inilah yang menyatakan saya positif corona. Sebelumnya juga ditemukan bintik putih dari hasil CT scan paru. Saya divonis pneumonia. Jenis penyakit yang sedang hits meranggas landai di paru saya yang tak punya riwayat perokok, jantung dan paru ini.

“Maaf Bu Vinna. Kamar rawat khusus covid kami penuh. Lebih baik ibu mencari rumah sakit lainnya saja,” kata suster sembari memperbaiki infus saya yang mengeluarkan darah. Dalam keadaan terhenyak saya hubungi belasan rumah sakit khusus covid atau pun tidak, hasilnya full over kapasitas. Sementara waktu dengan kejam terus merangkak. Saya seperti disisihkan di lorong rumah sakit.

Akhirnya, dalam kalut dengan suhu tubuh 39 derajat, saya gunakan link jurnalistik. Saya hubungi narasumber yang berlatar belakang BUMN. Dia segera menyuruh saya ke Rumah Sakit Pusat Pemerintah (RSPP). Katanya, ini merupakan rumah sakit pemerintah khusus covid yang dikebut 3 (tiga) bulan lalu.

“Ada kamar, tapi tetap masuk list tunggu ya. Diperiksa saja dulu di RSPP Kyai Maja, baru nanti ke Simprug Modular Extension,” katanya yang saya ikuti dengan ucapan terimakasih banyak. Saya tak bisa bayangkan, privilege jurnalis inilah yang bisa menyelamatkan. Lalu, kalau masyarakat biasa yang tak punya jejaring, tak terbayangkan apa yang terjadi. Ironi.

Sambil menunggu jemputan ambulance, lamunan saya terbang. Saya kena covid dimana ya? Padahal hidup di Jakarta dengan bekerja di digital platform news, saya khatam dengan semua protokol kesehatan. Ya, sebagai penyebar informasi berita, tentu harus paham sebelum sharing, harus praktikan sebelum meminta pembaca melakukannya. Tapi, nasib berkata lain, saya kena juga. Entah dimana.

Tetiba ambulance yang membawa saya, berhenti. Saya tak tahu telah sampai atau singgah menjemput pasien covid lainnya. Yang pasti, oksigen di hidung ini membuat penglihatan saya terus memudar. Ini pertama kali saya pakai oksigen. Pertama pula di atas ambulance. Baju ini makin basah karena demam.

Masuk IGD

Dua petugas di ambulance yang menggunakan baju layak astronot, menurunkan saya di RSPP Modular Ekstension Simprug. Keduanya dengan hati-hati mendorong saya masuk IGD yang sedingin kulkas. Inilah ruangan terdingin yang pernah saya masuki. Tubuh memang meriang tapi ini dinginnya beda. Saya benar-benar ringkih karenanya.

Saya diberi tempat sebuah dipan. Di sebelah sejarak 2 (dua) meter, ada seorang bapak berkacamata, memakai levis. Sendirian. Di tangannya terpasang infus dan batuknya mengganggu ruang IGD berukuran 8×5 meter. Ia kedinginan meminta AC diturunkan, tapi tak bisa, sebab AC-nya sentral.

“Tak bisa pak, alat-alatnya harus dalam kondisi dingin,” jawab petugas medis yang ternyata wanita, karena baju APD yang seragam susah membedakannya jika mereka belum bersuara.

Saya ditidurkan di sini, langsung diinfus, diambil darah lalu disuruh menunggu 3 (tiga) jam, sebab kamar belum tersedia. Saat menunggu itulah batuk berbusa putih, kini sudah berdarah. Tiap batuk, tiap berdarah. Tiap berdarah berlembar-lembar tisu habis. Sehabis batuk, dada serasa mau pecah. Sakitnya masih ada, batuk terjadi lagi, demikian seterusnya.

Walau sakit yang tak tertahankan, saya memperhatikan sekeliling. Hanya ada dua petugas medis malam dini hari. Satu suster perempuan dan satunya dokter jaga. Dia duduk di meja, di tengah-tengah 8 (delapan) tempat tidur IGD. Semua pandangan pasien IGD tanpa tirai itu tepat memandang keduanya yang duduk memainkan laptop.

Dua jam berlalu. Saya menunggu dengan pasrah. Tak bisa tidur, batuk terus saja bertalu. Dinginnya tak usah disebut. Dua selimut yang melekat di tubuh saja tak mampu meredam. Di sisi lain, walau dingin, anehnya baju ini sudah basah lagi. Keringat demam mengucur tak henti. Sudah hampir hal sepekan seperti ini saya alami.

Akhirnya sekitar pukul 03.00 WIB, kamar saya tersedia. Saya pasien terakhir di ruangan IGD. Sejak tadi, satu per satu pasien sudah pergi. Mereka mungkin sudah menunggu sejak pagi. Saya dibantu turun ranjang dan didorong dengan kursi roda. Perawat IGD itu bernama Shinta, sebagaimana tertulis di punggung baju APD-nya. Dia meletakan botol infus dan tabung oksigen dipangkuan saya dengan cekatan.

Sambil mendorong kursi roda, dia juga menggotong semua bawaan saya. Sendirian. Padahal ransel saya dan dua tentengan besar yang isinya random itu agak berat. Kok tidak ada petugas lain ya yang membantu, kata saya dalam hati. Bukankah perawat IGD harus tetap standby di IGD. Atau setidaknya begitu pengetahuan saya yang selalu langganan rawat di RS tiap tahunnya. “Tidak kak, sudah SOP tim medis covid ya seperti ini. one person multi duty,” kata Shinta yang terlihat kesusahan membuka pintu koridor ruangan dengan semua bebannya. Luar biasa, bisik saya.

Sepanjang lorong rumah sakit, semuanya berwarna putih. Saya seperti masuk labirin. Lurus, belok kiri, belok kanan, lurus, belok kiri. Kursi roda berbunyi berderik dan bergoyang. Kala saya perhatikan lantai ini, ternyata papan. Begitu pula dengan semua pembatasnya, semua dari papan yang dicat putih. Sama putihnya dengan baju hazmat tim medis yang berlalu lalang. Saya seperti masuk ke sebuah laboratorium NASA.

Tiba-tiba dorongan kursi terhenti. Saya yang sesak nafas teramat dalam berpikir sudah sampai di depan kamar rawat. Ternyata saya diserah terimakan oleh petugas berseragam sama di tengah lorong. Sembari menunggu keduanya berdiskusi, saya perhatikan labirin ini seperti pabrik yang terorganisir. Banyak petugas medis yang bergerak cepat. Ada yang meletakan barang di pinggir koridor. Sesaat dia berlalu, petugas lainnya dari lorong sebelah mengambil barang tersebut. Persis seperti semut bekerja. Mereka bekerja dalam diam. Sistematis.

Saya lihat ada tumpukan air mineral. Ada tumpukan kantong limbah medis dan lainnya. Setiap mereka mempunyai HP tablet yang telah disarungi plastik. Kadang mereka mengetik namun acap berkomunikasi dengan mode loudspeaker. “Ini Ibu Vinna langsung masuk kamar wing dua. Atau digabung 3 (tiga) pasien lainnya pak?” sayup-sayup terdengar saat mereka berkoordinasi, tapi tubuh ini sudah tak bisa diajak kompromi. Sebentar lagi masuk subuh. Dingin, kantuk dan sesak. Saya terus didorong, pintunya susah dikuak. Saya makin batuk, jalan kian jauh. Sepi.

Makin Memburuk

Saya dirawat dengan kapasitas untuk 3 (tiga) pasien. Di sini, di ruangan yang sepi. Tak ada sesiapa. Yang ada mikrofon dan CCTV. Langit-langit putih, kaca tembus pandang tanpa tirai sebagai pengganti dinding dipasang mati. Seperti tahanan namun bak aquarium bisa dipandang dari luar.

AC kembali menusuk. Badan saya tetap basah. Kerongkongan kering, bibir pecah. Batuk bertalu-talu. Dada perih, napas tersengal, amat sesak. Lalu pengecap rasa hilang. Lengkap sudah ciri-ciri covid.

Oksigen yang terpasang statis di dinding harus 24 jam terpasang di hidung. Karena itu, saya takkan bisa turun ranjang. Maka, kini saya pakai kateter dan pampers. Pertama dalam sejarah hidup. Perawatan pasien covid ternyata memang intensif, di luar dugaan.

Infus saya ditambah. Obat-obatan diberi tanpa jarak. Tensi diukur, detak jantung, dikeker berulang-ulang. Suhu tubuh. Semua. Ditanyai, apa yang terasa. Suster mencatat. Jika ada 3 (tiga) orang berbaju hazmat datang, itu dokter. Dokter umum, atau dokter spesialis. Pasien diperhatikan sejak pukul 06.00 sampai pukul 01.00 WIB. Bahkan menjelang subuh pun mereka datang ke ruang perawatan kembali mencatat tensi, suhu dan saturasi darah.

Namun kadang dokter masuk hanya lewat speaker pengeras suara kamar. “Pagi Ibu Vinna, saya dokter Anda bagaimana kondisi ibu hari ini?” Suaranya terdengar lantang dari intercom yang dipasang diatas dinding. Tapi, saya agak susah menjawabnya sebab suara saya parau. Saya jawab saja sekuat yang bisa.

Saya juga harus jeli membedakan, suster, pria, wanita, dokter, pemberi makanan, tukang sampah atau pembersih kamar. Ini, karena pakaian mereka sama. Putih dan menutupi sekujur tubuh, tak terlihat perbedaan profesi karena seragam. Pandangan mereka pun terhalang karena kacamata tukang las itu, berembun pula.

Hari berikutnya kondisi saya malah kian memburuk. Saturasi darah saya menunjukkan, 80 persen, sehingga saya membutuhkan oksigen bukan di hidung lagi tapi di mulut. Batuk kian berdarah padahal saya tak ada riwayat TBC, jantung, paru. Saya pasrah, tak boleh menangis, tapi ambruk ketika dokter menyebut saya harus masuk ICU. Air mata berderai, jatuh menimpa badan saya. Saya berusaha menolak, tapi dijelaskan dengan rinci. ICU itu berbeda dengan kamar perawatan. Ini satu ruangan untuk satu pasien.

Rawat ICU

Saya di sini ditemani oleh alat-alat pendeteksi nadi, paru, jantung, saturasi, tensi dipasang 24 jam. Tubuh saya ditempeli banyak kabel, suara mesin menimpali setiap detik. Nyaris tak bisa bergerak. Tubuh ini, dipasung oleh semua alat itu. Memegang HP pun hanya bisa dilakukan dengan susah payah.

Darah saya berkali-kali diambil. Hampir tak ada lagi tempat untuk menusukkan jarum di tangan dan di kaki. Kini giliran mengambil darah vena. Lama suster mencari-cari dimana akan diambil. Tiap dicoba, tiap gagal. Bagian-bagian tak lazim, seperti di kaki, juga gagal. Beberapa bekas tusukan jarum sudah membiru dan membengkak. Dapat. Darah vena saya harus diambil, metodenya beda. Jarum harus tegak lurus, menusuk ke dalam. Jauh. Yang terjadi? Inilah sakit yang tak terkatakan. Tangan serasa kena sentrum. Pertama dalam sejarah darah vena diambil.

Tiga jam kemudian: seorang suster tiba-tiba datang. Ia datang dengan mendorong sebuah kotak. “Kita foto rontgen paru ya kak?”

Refleks saya bersiap-siap karena berpikir akan dibawa ke ruangan lab. Paling awal saya ambil kacamata yang kemudian asal pasang saja. Saya terkejut, sebab suster itu membuka kotak portable. Bagai crane di gedung-gedung bangunan, kerangka besinya naik tinggi. Ternyata foto rontgennya ada dalam kotak ini. Saya didatangi, bukan saya yang pergi ke laboratorium. Pertama saya alami.

Belum habis kaget saya, berselang datang lagi seorang suster. Ia membawa kotak lain. Ini untuk merekam jantung dan paru. Meski para wanita, mereka sesuai job, melaksanakan tugas dengan professional. Tak peduli alatnya sebesar dan seberat apapun. Sambil dirontgen dan sambil rekam jantung, saya memberikan pujian kepada perempuan muda hebat ber APD itu. Tak lama keduanya pergi, meninggalkan saya yang nyaris tak percaya. Ada wanita muda bekerja seperti ini. Siapa yang tahu?

Sepi lagi. Inilah rasa sepi yang paling dalam. Saya ditemani bunyi alat-alat medis penyambung hidup. Batuk saya tetap mengeluarkan darah. Dada seperti dikukus. Tiap batuk, bunyi alat monitor itu berbunyi kencang pula. Alat itu mengikuti irama jantung saya. Saya berharap tak ada bunyi panjang dan garis datar dalam grafik monitor itu. Huft saya melamun terlalu jauh.

Tiba-tiba HP yang berbunyi. Meraihnya di meja dengan tangan terpasung alat saja susah bukan main. Namun, saya sangat merasa “tertolong”. Sebuah video call kawan-kawan SMA. Saya “terisi”, disaat sedang galau dalam ruang sempit yang putih. HP saya pegang bergantian dengan dua tangan. Tangan saya sudah bertali-tali infus, satu lagi, pakai saturasi, alat ukur detak jantung. Genggaman tangan tak sekokoh waktu sehat.

“Tetap semangat ya Pien. Elu yang biasa kuat, pasti bisa lalui ini. Kita punya agenda kumpul lagi bersama yang harus dieksekusi dan itu harus bersama-sama elu,” papar semua teman sekolah bergantian dengan whatsaap video. Saya seperti sedang berlari-lari di halaman sekolah dulu, tiba-tiba seperti bergandengan ke masa muda yang semangat dan riang. Bahkan ada yang mengirimkan makanan dan jus buah merah papua. Terima kasih kawan-kawan yang baik.

Tak hanya teman, abang saya pun memberikan apa yang bisa dia berikan. Termasuk barang-barang yang tak terbawa. Karena ini rumah sakit pemerintah, tak seluruh keperluan pasien disediakan. Selimut tambahan, sendok, tisu basah, pampers, dan peralatan mandi.

Di ICU, botol infus saya lima sekali digantung. Lima, bukan satu. Ambil darah makin intens, suntik pengencer darah dan antibiotik juga makin tak berjarak. Setiap setengah jam sekali. Alat pengukur tensi yang dilekatkan di tubuh saya bekerja sendiri. Tiba-tiba meremas kaki kanan saya. Pengukur tensi yang biasanya di lengan. Kini malah di kaki, karena akan menghambat infus dan saturasi yang diletakan di tangan kanan dan kiri.

Di ICU ini juga demam saya sudah diangka 36 dan 37. Obat sirup batuk yang diberikan, sepertinya membantu menghilangkan darah di batuk. Kalaupun berlendir kembali kuning yang basah dan berbusa. Mungkin inilah inti dari virus covid. Segala hal tentang batuk di paru.

Di hari ketiga ICU, saya tiba-tiba diberikan kabar bisa kembali ke ruang perawatan. Dua petugas tiba-tiba datang. Keduanya mengambil semua barang bawaan. Mereka yang tak bisa saya bedakan karena memakai baju hazmat itu meletakan semua barang saya di kasur. “Kita pindah ya Bu, balik ke ruang perawatan,” katanya. Saya sendiri bingung antara senang atau lega. Ya kembali di dorong bukan untuk pulang, tapi untuk kembali dirawat. Masih lamakah saya di sini?

Di lorong ini, saya menahan sesak. Ini karena oksigen saya tak terpasang. Dalam sesak itu saya mengobservasi lorong RS dadakan ini. Rumah sakit yang awalnya ialah lahan sepak bola simprug. Lantainya bukan di cor tapi di tutup dengan papan. Sehingga jika berjalan membuat bergelombang dibuatnya. “Ini wing 2 lewat mana? Kanan atau kiri?,” ujar mereka yang sepertinya masih belum terbiasa dengan rumah sakit yang dikebut siap dari April.

Balutan Jepang

Saat menuju ruang rawat saya melewati lorong administrasi dan farmasi. Klop rasanya tebakan saya, bahwa rumah sakit ini bekerja sama dengan konsulat Jepang. Ada beberapa konsultan Jepang yang sedang memberi arahan pada tenaga medis di ruang itu. Dan jika diperhatikan di semua baju tenakes terdapat stiker Jepang di depan baju hazmat. Tak hanya itu, jika membunyikan bel ke perawat, kalimat awal bunyi sapaan Bahasa Jepang dulu baru tersambung.

Sampai di ruang rawat, saya didatangi dokter. Dan, diberikan pilihan untuk mendapatkan obat dari Jepang. Bukan vaksin bukan pula obat anti virus yang sedang diuji. Kata dokter ini obat yang biasanya digunakan pasien covid dan memang hasilnya berbeda-beda bagi pasien. Maka kita diberikan pilihan mau atau tidak.

Saya yang menyatakan kesediaan. “Mau dok.” Lalu diberikan obat tersebut 5 (lima) atau 8 (delapan) butir. Obat yang saya tak tahu namanya tapi ada cap Jepang, bercampur dengan obat lainnya. Saya minum obat tiga kali sehari, namun kwantitasnya puluhan butir tiap hari.

Tenakes Nusantara

Di sini, di rumah sakit darurat bautan Jepang ini, memang rapi. Bersih dan hening. Nyaman (kalau kita tak sakit). Semua limbah medis, bekas makan, tisu kita, bungkus roti dan sebagainya, dibakar habis. Rumah sakit dengan 300 tempat tidur terdiri dari lorong-lorong seperti lorong labor.

Paramedis wanita dan pria itu, adalah sukarelawan yang bekerja sepenuh hati. Mereka dengan baik hati membantu saya bangun. “Bu mandinya kita bantu lap ya.” Badan saya dilap. Ganti pakaian. Buang isi kantong kemih plastik.

Dengan tepat waktu antar makanan 3 (tiga) kali sehari. Kalau mau bicara tekan bel tapi datangnya memang agak lama, karena ruangan mereka jauh. Tak pernah mengeluh, yang sering malah saya. Mereka tak hanya mengganti pakaian saya, tapi juga alas kasur sarung bantal dan selimut.

Tenaga medis ini, adalah anak-anak nusantara karena memang datang dari berbagai provinsi dan kota di Indonesia, termasuk dari Padang. Ada yang baru empat hari bekerja. “Saya sebelumnya di M Djamil kak. Ada lowongan ya saya isi aja, ternyata ditempatkan di sini,” ungkap Lia sembari menyuntikan obat pengencer darah ke perut saya.

Lia mengumbar dirinya ditidurkan di sebuah hotel dan dijaga kesehatannya. Bersama dengan perawat lainnya mereka diantar jemput untuk dinas, bekerja dengan sift pagi dan malam. Mereka adalah remaja yang demi sesama, membiarkan ibundanya menangis di kampung demi cinta anaknya. “Teman sekamar Lia kemarin kena covid kak, sedih padahal kita baru kerja seminggu lalu,” tukuknya.

Para perawat tiap hari bercanda dengan saya. Berkisah, walau ada yang tergesa, sebab tugas mereka berat, pasien banyak, tenaga kurang. Bahkan mereka bercerita bisa membuka baju APD setelah 4 (empat) jam. Harus menahan ke belakang, shalat pun jadinya dijamak. “Belum pernah jalan-jalan di Jakarta kak. Sejak dari Makasar, dilatih dan karantina, langsung dinas sebulan ini,” kata Ratih yang awalnya dia pikir akan ditempatkan di wisma atlet.

Di sini tak ada televisi, entah kalau di ruang VIP. Jika anda dirawat di ruang VIP itu artinya biaya bayar sendiri. Jika anda dirawat di ruang biasa, anda dibayar negara. Biaya perawatan korban Covid-19 itu kata orang bisa Rp 150.000.000 sampai Rp 200.000.000. Betapa banyaknya orang dirawat dan itu ditanggung negara. Karena itu taatilah protokol kesehatan.

Saya yang bertubuh imun rentan ini, sudah berhari-hari dirawat di sini. Masuk ICU, keluar, berangsur sehat. Tubuh ini memang rentan.

Sering demam, pernah malaria, pernah typus, lelah saja demam. Berpanas-panas saja demam, kena hujan saja demam. Manusia demam. Ini makanan empuk corona. Yang terjadi? Saya berangsung pulih. Mukjizat Tuhan.

Tetap Positif

Masih positif covid. Entah hari keberapa saya diswab oleh dokter. Ya Allah, masih positif. Padahal sudah menunggu hasilnya dua hari. Udara pakai slang masih ke hidung. Batuk masih memukul dada. Obat segenggam sekali makan. Infus bertali-tali masih tergantung. Apakah saya akan sehat?

Kata orang, jika positif covid dan anda punya penyakit suka demam, tubuhnya rentan seperti saya, biasanya sulit ditolong. Saya lawan asumsi itu, saya harus sehat. Saya segera hubungi Mama yang saat itu berada di Payakumbuh. Etek juga. Saya menangis minta maaf dan tangis mama, ternyata membuat saya tegar. Mama yang dijemput si uda, lalu sampai di Jakarta. Mama mengawal saya dengan doa-doanya.

Alhamdulillah empat hari kemudian, hasil swab negatif. Saya sudah negatif, tapi ini corona. Corona itu, menikam jantung manusia. Membuat sarang di sana, melilitnya. Hingganya dokter punya protokol, saya harus swab sekali lagi, untuk mengkonfirmasi bahwa saya sudah sehat dan bebas covid.

PSBB ke Dua

Menunggu hasil swab kedua rasanya menanti pengumuman kelulusan hidup. Bahkan untuk melakukan swab ke dua harus direntang 10 hari dari swab pertama. Lama, dan saya mulai bosan. Perawatan saya memang beda dengan pasien yang pernah saya lihat di laman-laman medsos. Jangankan berjemur matahari atau olahraga, saya bahkan tak bisa turun dari ranjang.

Hingga di suatu hari, jadwal swab kedua tiba-tiba dipercepat. Kejutan tak sampai disitu, esoknya saya diminta agar pulang saja. Diisolasi di rumah sambil menunggu hasil swab yang akan dikirimkan via email. “Maaf ibu Vinna. Gelombang kedua ini menyebabkan semua rumah sakit kewalahan menerima pasien covid. Semuanya menumpuk di IGD dan menunggu ruang inap kosong. Jadi kita minta ibu siap kemas-kemas ya, malam ini bisa pulang,” kata dokter jaga ditemani dua suster yang hanya diam saat saya mengatakan keberatan.

Dengan hati yang rusuh saya kembali menghubungi “orang dalam”. Dia kemudian memberikan nomor direktur rumah sakit. Tidaklah mungkin saya pulang dengan tubuh yang lemah dan belum dapat kepastian sudah bersih covid atau tidak. “Maaf ya ibu. Saya hubungi dokter dan kita pastikan ibu sudah terima swab negatif kedua, baru dirumahkan,” kata direktur wanita itu.

Saat menunggu itu beberapa teman mengirim link berita membludaknya pasien covid di Jakarta. Ada juga video ramainya antrian pasien masuk wisma atlet. Bahkan menggunakan bus sekolah. Lima belas hari lalu saja saya kewalahan mencari rumah sakit, kini tak terbayang betapa sengkarutnya situasi. Ah, saya terjebak dalam waktu yang salah dengan penyakit yang salah.

Protokol Pulang

Swab saya kedua Alhamdulillah negatif. Saya pulang. Masuk dari pintu berbeda, keluar di pintu berbeda pula. Keluar dari kamar, bekas-bekas makanan, tisu, obat dan lainnya saya semua dibakar. Saya diantar keluar, berbelok ke kanan, Mandi!

Bukan di kamar mandi tempat saya dirawat, tapi mandi di pintu keluar.

Ya, satu ruangan disulap menjadi kamar mandi. Pintu masuk dari dalam dan pintu keluarnya ada ruangan transisi sebelum keluar halaman rumah sakit. Sepertinya inilah pintu exit semua penghuni rumah sakit yang akan keluar, mungkin juga para tenakes.

Ransel yang saya bawa dan semua isinya disemprot disinfektan, masuk kantong plastik besar. Ikat. Dan pakaian usai mandi harus dari rumah, bukan dari tas yang saya bawa. Ini protokol jika keluar dari zona merah rumah sakit.

Selesai mandi, saya masuk sebuah ruangan kosong. Saat buka pintu di depannya. Melangkah. Tiba di luar. Tak boleh lagi masuk. Di luar seorang suster menunggu. “Ini obat ibu, ini rekam medis, pulang, sampai di rumah mandi lagi dan jangan kemana-mana 14 hari.”

Sebuah percakapan yang biasanya terjadi di dalam gedung rumah sakit terjadi di halaman belakang parkiran. Dengan rambut yang masih basah, saya mendengar seksama penjelasan suster. Dia hanya memberikan obat dan tak ada tagihan apapun. Luar biasa semua pengalaman ini. Saya mantan pasien covid.

Makna

Kini saya diisolasi di rumah. Harus menunggu 14 hari baru bisa kontak dengan publik. Saya temui hari baru. Kata orang bekas pasien covid takkan bisa sesehat dulu lagi. Bukan itu masalahnya, tapi ini : mohon jaga kesehatan anda semua, jangan pernah mencoba seperti apa yang saya alami. Jika pun mengalaminya, jangan sampai anda kehilangan semangat hidup. Jangan sampai tak kebagian tempat tidur di rumah sakit.

Manjauhlah dari asumsi ini konspirasi. Kalau anda sakit, tak ada konspirasi, tak ada politik, tak ada debat. Jika pulang tinggal nama? Ini wabah. Di dunia wabah covid bukan yang pertama. Flu adalah wabah yang vaksinnya belum ditemukan sampai sekarang.

Percayalah, membuat berita covid lebih mudah daripada menjalaninya. Percayalah, tenakes itu berjuang dengan lelah dan payah. Maka sekarang, saya telah di rumah. Berbagi kisah untuk semua. Yang sehat tetaplah sehat. Menjaga dirimu, sama dengan menjaga diri keluarga.

Saya sudah sembuh. Syukur ya Allah***

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kisah Inspiratif, Vinna Melwanti, Jurnalis Wanita ‘Urang Awak’, Berjuang Melawan Covid-19

Terkini

Iklan